Rabu, 18 November 2015

Bangkit dari Mati Suri

Hai semua!
Hanya ingin mengabari, insya Alloh ke depan saya akan lebih disiplin menulis, apapun isinya. Saya tidak bisa menjanjikan rajin menulis, tapi akan saya usahakan minimal satu post diterbitkan perbulannya. Entah pendek entah panjang. Bagaimanapun saya tak ingin tempat ini dipenuhi jaring laba-laba dan debu dimana-mana. Jadi nantikan terus post terbaru saya ya :)
Selamat bertemu di post selanjutnya. Saya sangat berterima kasih atas kunjunganmu, tapi akan jauh lebih berharga jika kamu tinggalkan jejak di sini :)

This is Me

Saya selalu tertawa gila setiap membaca ulang goresan maya masa lampau di blog ini. Utamanya  masalah cinta monyet. Bukan apa-apa, hanya, rasanya segala yang berkaitan dengannya saya ekspresikan dengan begitu alay-nya. Kalau mau jujur, sebenarnya kata alay tepat disematkan untuk hampir SELURUH post di sini, lebih-lebih yang ditulis sebelum tahun 2011. Masa-masa awal lahirnya blog ini. Masa-masa saya masih menelan pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, juga muatan lokal Bahasa Jawa dan pramuka. Masa-masa terpukau dengan taglineThe Research School of Jogja” yang terpampang di pintu utama sekolah kami –sekarang masih sih, tapi dari kejauhan-.
Sebelumnya, mungkin terasa wagu saya yang sebelumnya lancar menggunakan “aku” dan “kamu” tiba-tiba menjadi “saya” dan “kamu”, pun dari kata-kata slang bertebaran dimana-mana menjadi minim kata slang. Sederhana saja, saya ingin pengunjung lebih nyaman dengan transformasi ini, selain karena ingin menunjukkan bahwa saya masih berusaha memperbaiki diri dalam segala aspek. Tapi tenang saja, saya tetap tipe the girl next door –a la Indonesia tentunya- yang di saat tak terduga penuh kegilaan. Saya tidak akan heran jikalau kamu pernah mendapati saya sedang menirukan suara kucing, mobil balap bahkan babi. Plus ekspresinya, untuk yang terakhir disebut. Saya juga masih Dina Ardihani yang berperilaku memalukan dan terkadang membuat saudara-saudari saya mengaku tidak kenal dengan saya. Heheh.
Kembali ke topik, saya melabeli kisah cinta monyet saya dengan kata “alay” tak kurang karena apa yang saya tulis tidak terlewat dari melebih-lebihkan baik kejadian faktualnya maupun mimpinya. Iya, mimpi. Karena salah satu post tentang cinta monyet di sini merupakan hasil kembang tidur saya. Selain itu, semua yang saya tulis toh hanya dari sudut pandang saya. Memang benar, saya sempat menunjukkan rasa suka saya pada seorang teman sekolah –yang mana terjadi sekali di SMP dan sekali di SMA- namun yang terjadi sebenarnya adalah, saya berusaha sebisanya bersikap biasa-biasa saja pada orang itu tapi ternyata dia tetap sadar bahwa saya memperlakukannya berbeda dari teman lelaki lain. Tidak penting? Iya, memang tidak penting. Lucu? Silakan tersenyum. Ironis? Silakan tertawa miring. Saat SMP, saya bahkan sempat napak tilas tempat dia, sebut saja R, bermain dengan teman-temannya menggunakan sepeda. Bukan stalking, karena saya tiba saat mereka sudah jauh pergi entah kemana. Namun tetap memalukan karena saya melakukannya setelah tidak sengaja mendengar rencana mereka menyambangi tempat tersebut. Dan hanya karena ingin tahu bagaimana dia jika di luar sekolah. Lebih freak lagi, saya sempat beberapa kali sengaja pulang lewat area yang saya duga –dari hasil cerita teman SDnya yang kebetulan sekelas dengan saya- adalah wilayah tempat dia tinggal hanya agar tahu dimana persisnya rumahnya –yang di kemudian hari saya beralasan padanya, walau memang benar, adik saya sekolah di sekitar situ-. Puncaknya, saya tahu kalau dia sadar saya menyukainya ketika suatu saat saya berangkat mruput sementara dia sudah di sekolah sedang bercengkerama dengan teman-teman dekatnya di bawah ring basket, langkah saya mendadak terhenti sendiri dan ragu bercampur malas untuk menapak lebih dalam. Bukan untuk mengamati dia, justru ingin menghindar. Rupanya meski tubuh bagian atas saya terhalang mading dia sadar itu saya dan tiba-tiba dia berlagak dengan dribbling bola basket dilanjutkan shooting. Kalau saja teman dekat saya tidak bertanya alasan saya belum masuk kelas, saat itu saya akan lebih memilih tetap sembunyi di balik mading, membaca koran dan pura-pura tidak melihat apa yang dia lakukan. Setelah saya masuk kelas –yang berarti harus melewati dia dan teman-temannya dulu- dia menghentikan permainan basketnya dan kembali berbincang dengan kawan-kawannya. Yang mengejutkan, beberapa saat yang lalu ketika saya melihatnya lagi untuk pertama kali setelah delapan tahun dalam suatu reuni, i just felt nothing. Literaly not-even-a-single-thing. Hanya tersentak dengan perubahan drastis pada fisik maupun perilakunya. Berarti, dua tahun perasaan itu tidaklah cukup bermakna bagi saya. Sungguh melegakan, karena seharusnya saya tidak melanggar prinsip saya, hanya menaruh perasaan pada teman sepengajian. Bagaimanapun, ketika SMA saya kembali memandang beda terhadap seorang teman sekelas saya. Satu peristiwa paling nekat yang masih saya ingat –dan saya sesali kini-, saya sempat mengirim pesan via FB padanya, sebut saja si E. Isinya biasa saja: menanyakan kabar, minta maaf akan hal yang sebenarnya tak perlu, tapi untuk ukuran saya saat itu yang dikenal dengan perangai pendiam, tidak banyak polah, tertutup –apa bedanya dengan sekarang ya? Haha- isi pesan tersebut sudah tergolong alay/memalukan atau apalah itu istilahnya. Alhamdulillah, tidak pernah ada balasan dari E. Namun sejak itu, beberapa kali terjadi sesuatu yang saya ragu apakah berhubungan dengan pesan tersebut atau saya saja yang gegedhen rumongso: ketika saya online di FB dan dia sudah online lebih dulu, tiba-tiba dia offline tak sampai 10 menit kemudian. Alhamdulillah, lambat laun menjadi biasa saja bahkan saya menjadikannya guyonan pada diri sendiri; saya mencoba menghitung rekor berapa lama si E tetap online sementara saya juga online. Pada akhirnya, sejak wisuda kelulusan saya tidak pernah bertemu lagi dengannya dan, Alhamdulilah, bisa dibilang hampir tidak pernah dia terlintas di pikiran saya. Kalaupun pernah, itu kebetulan karena saya bertemu dan bernostalgia dengan tetangga sekaligus teman sekelas saya dan si E. Tetap saja kini saya menyesal telah dua kali melanggar prinsip saya sendiri.
Ketika saya telah menjadi mahasiswa, beberapa kali saya “melihat” teman sepengajian dengan cara berbeda. Tapi rerata hanya melibatkan kekaguman dan tidak sampai suka. Indikator saya mengatakan saya hanya kagum atau suka, bila saya sampai menyukai seorang lawan jenis biasanya orang itu muncul dalam mimpi meski cerita dan peran orang tersebut dalam mimpi saya tidak istimewa –mungkin bisa dibilang semacam cameo-. Hanya satu yang berdampak cukup serius dalam hati, dan tak sampai setahun kemudian dia menikah dengan teman sepengajian lain yang juga seangkatan saya. Hahaha.
Waktu terus bergulir maju, tapi saya masih “trauma” dengan patah hati tersebut. Semakin hari justru saya makin menutup diri dari “cinta pada lawan jenis”. Kalau sekadar kagum tetap ada, entah itu pada yang lebih tua, sepantaran bahkan lebih muda. Pada dasarnya, saya lemah terhadap orang-orang (lebih tepatnya laki-laki) yang kefahaman agamanya kuat. Tentu, tidak bermaksud munafik, saya juga senang menilai fisik seperti rupa dan harta, tapi yang membuat hati saya menjadi rentan dan kemudian membiarkan seorang laki-laki muncul dalam mimpi –engkau salah kalau membayangkan mimpi yang liar- justru ketakwaannya pada Ilahi, menjaganya pada tuturnya, ilmu agama yang dimilikinya, kepeduliannya pada orang lain –dengan tidak membiarkan orang di sekitarnya terjerumus dalam kesalahan- dan semua aspek umum dari seorang hamba yang solih. Namun tetap saja, semenjak trauma tersebut sikap skeptis saya menguat. Saya merasa belum siap untuk patah lagi. Efeknya, terhadap lawan jenis nonmahrom siapapun itu saya cenderung apatis, walau sebenarnya sejak dulu juga apatis terhadap laki-laki, apalagi terhadap orang yang padanya saya menyimpan rasa. Saya batasi setiap rasa kagum agar tidak berkembang menjadi suka dan berkilah pada diri sendiri bahwa dengan bersikap seperti itu apa yang tersimpan dalam sanubari saya akan pudar juga, sehingga tidak perlu ada benak yang mencelos jika suatu saat terdengar kabar bahagia dari orang itu. Ibaratnya, laiknya seorang pecundang, saya sudah menyerah sebelum perang. Lagi pula, saya selalu merasa belum cukup baik untuk membersamai orang yang saya sukai. Ia pantas bersama perempuan yang lebih baik akhlaknya, peduli pada orang lain dan faham agama. Masih jauh diri ini dari status solihah. Hingga di suatu titik, saya merenung: jangan-jangan selama ini gayung tidak bersambut karena saya tidak cukup serius menyukai seseorang: menyimpan semua di hati, berharap dalam diam namun tidak menyerahkan perkara pada Yang punya semua perkara dan Maha Mengubah hati. Maka saya meyakinkan diri sendiri: Jika kamu benar menyukainya, segera sebutkan namanya dalam mohonmu padaNya, baru setelah itu berharaplah dia menyebut namamu juga. Alhamdulillah, praktik sudah terlaksana. Kali ini, saya menjaga perasaan tersebut. Meski tetap ada gundah apalah diri ini dibanding orang mulia lagi terjaga seperti dia, di sisi lain berkat Alloh saya merasa sanggup lebih legowo seburuk apapun perasaan tersebut berakhir nanti. Saya tidak bisa menceritakan apapun tentang yang satu ini karena semua telah saya serahkan padaNya. Yang jelas, lagi-lagi saya jatuh hati karena kefahamannya. Jika memang sudah jodoh pasti akan datang.

Mencintai itu indah
Berharap memang membuat rindu
[Tapi] relanya hati hanya ada karena manisnya iman
Baiklah, saya rasa cukup demikian bab urusan hati. Ini saja sudah luar biasa mengingat saya introvert parah terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hati/perasaan. Benar, di kehidupan nyata maupun maya (re: medsos) saya memang hampir tidak pernah menunjukkan hal-hal pribadi yang mengarah pada perasaan. Hei kau, siapapun kau yang membaca tulisan ini, saya sungguh berharap kamu bisa memetik hikmah dari pengalaman saya. Bahwa jangan sampai kamu terjerembab dalam lubang keledai yang sama seperti saya. Bahwa Tuhan mengasihimu lebih dari cinta seseorang padamu, maka kembalikan semua padaNya dan persembahkan cinta terbaikmu padaNya sebelum serahkan hatimu pada makhlukNya.