Kalau dipikir-pikir, aku ini norak. Pake banget malah. Terutama, dalam hal, hm, menyukai cowok. Hahaha, walaupun aku nggak akan melupakan kekonyolanku itu, aku tidak akan mau menuliskannya di sini. Tapi sebenarnya sudah ada contoh kenorakanku. Dalam postingan berjudul Corezon Secreto, yang akhirnya kuhapus setelah sempat nangkring di blog ini selama beberapa hari. Memalukan sekali, melihat diriku yang terkesan “murahan” seperti itu. Seharusnya aku bisa mengerem dan menahan diriku sendiri sampai taraf menyimpan segalanya hanya dalam hati. Biarlah hati, pikiran dan diriku sendiri saja,beserta Allah, tentu, yang tahu dan melihat rasa suka itu. Pun, sebenarnya yang norak bukan hanya si-postingan-malang-yang-telah-kuhapus-itu, tapi juga satu postingan lagi yang muncul karena keedananku waktu itu, postingan yang berjudul Caldo de Gallina; Pero pequino Grando. Hanya saja, motif penulisan postingan itu semata karena menurutku isinya cukup bagus untuk digubah jadi cerita. Aku ingin tahu komentar orang-orang yang membacanya. (Kalau memang benar ada orang selain aku sendiri yang mengunjungi blog ini, hahaha). Aku ingin dia tahu, aku menyesal telah menunjukkan rasa sukaku padanya, meski perasaan itu sendiri tak akan pernah kusesali. Tak masalah dia tak ingat aku, karena yang kuambil dari semua itu cukup pengalaman berharga tentang bagaimana rasanya menyukai seseorang. OK, itu hanya sekadar intermezzo. Yang sesungguhnya ingin kuutarakan dalam postingan kali ini bukan tulisan di atas, meski masih ada kaitannya dengan kalimat-kalimat setelah ini.
Ada begitu banyak aspek kehidupan yang bisa ditulis, dan aku heran mendapati diriku, beberapa minggu terakhir ini, dengan latahnya terjebak dalam satu tema yang klise lagi monoton: cinta terhadap lawan jenis. A ha ha ha ha, betapa menyebalkannya, menyinyir tajam kepada biduan-biduanita zaman sekarang yang hampir kesemuanya bersesakan di jalur pop –dengan embel-embel warna yang berbeda—dan mengangkat tema ini, tapi sendirinya ternyata juga tak habis-habisnya berkoar tentang tema itu, eh? Humm, barang kali waktu itu aku sedang didominasi sifat melankolisku, seperti kata Florence Littauer. Dan aku gembira menyadari aku kini akan segera kembali menuliskan hal-hal yang lebih menarik dibahas daripada postinganku mengenai tema tersebut di atas.
Keluarga? Ahai, topik ini memang sudah biasa, namun seperti lagu tema Keluarga Cemara, keluarga adalah segalanya. Aku tak pernah bosan dan merasa kehabisan bahan perbincangan akan yang satu ini. Benar sekali isi lagu itu:
Harta yang paling berharga adaah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Tempat yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Setiap keluarga mempunyai sisi gelap dan terangnya masing-masing. Namun aku lebih senang menuliskan ingatanku akan kebaikan keluargaku, seperti juga aku lebih suka mengingat-ingat kebaikan teman-temanku daripada kesalahan dan keburukannya. Ah, tentu saja tanpa melewatkan sikap waspada. Bukankah lebih membahagiakan seperti itu? Ayahku adalah orang yang paling sering memberiku petuah berharga mengenai bagaimana menghadapi hidup yang jelas tak semudah mengedipkan mata. Memang, di pengajian kami secara tak sadar juga diajari bagaimana tetap menjadi hambaNya yang takwa di dunia yang makin sekarat ini. Tapi ayah membeberkan hal yang lebih universal. Bagaimana caranya agar kepala tetap tegak sementara ombak dahsyat menggempur dari segala arah; bagaimana caranya agar tidak terseret bahkan terbunuh oleh keadaan itu; bagaimana caranya menyemangati diri sendiri ketika jurang terjal tampak di depan mata; bagaimana caranya mengukuhkan hati agar tetap dalam jalan yang benar; dan masih banyak nasihat berharga lainnya. Ibuku sendiri, lebih sering menasihati anak-anaknya mengenai harapan-harapan beliau akan anak-anak yang bisa diandalkan dengan segala amalan baik kami.
Hm, kukira, cukup sampai di sini aku berkisah. Ternyata menulis tentang keluarga bukan hal yang mudah. Aku tidak ingin menulis sembarangan. Mudah-mudahan aku bisa segera menceritakan keluargaku lagi.
Eh, omong-omong, aku senang kini bisa melaksanakan janjiku dulu untuk tetap berolahraga meski tidak ada pelajaran olahraga lagi. Yeah! ;d