Saya selalu
tertawa gila setiap membaca ulang goresan maya masa lampau di blog ini.
Utamanya masalah cinta monyet. Bukan
apa-apa, hanya, rasanya segala yang berkaitan dengannya saya ekspresikan dengan
begitu alay-nya. Kalau mau jujur, sebenarnya kata alay tepat
disematkan untuk hampir SELURUH post di sini, lebih-lebih yang ditulis
sebelum tahun 2011. Masa-masa awal lahirnya blog ini. Masa-masa saya masih
menelan pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Fisika,
Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, juga muatan lokal Bahasa Jawa
dan pramuka. Masa-masa terpukau dengan tagline “The Research School
of Jogja” yang terpampang di pintu utama sekolah kami –sekarang masih sih,
tapi dari kejauhan-.
Sebelumnya,
mungkin terasa wagu saya yang sebelumnya lancar menggunakan “aku” dan
“kamu” tiba-tiba menjadi “saya” dan “kamu”, pun dari kata-kata slang
bertebaran dimana-mana menjadi minim kata slang. Sederhana saja, saya
ingin pengunjung lebih nyaman dengan transformasi ini, selain karena ingin
menunjukkan bahwa saya masih berusaha memperbaiki diri dalam segala aspek. Tapi
tenang saja, saya tetap tipe the girl next door –a la Indonesia
tentunya- yang di saat tak terduga penuh kegilaan. Saya tidak akan heran
jikalau kamu pernah mendapati saya sedang menirukan suara kucing, mobil balap
bahkan babi. Plus ekspresinya, untuk yang terakhir disebut. Saya juga masih
Dina Ardihani yang berperilaku memalukan dan terkadang membuat saudara-saudari
saya mengaku tidak kenal dengan saya. Heheh.
Kembali ke
topik, saya melabeli kisah cinta monyet saya dengan kata “alay” tak kurang
karena apa yang saya tulis tidak terlewat dari melebih-lebihkan baik kejadian faktualnya
maupun mimpinya. Iya, mimpi. Karena salah satu post tentang cinta monyet
di sini merupakan hasil kembang tidur saya. Selain itu, semua yang saya tulis
toh hanya dari sudut pandang saya. Memang benar, saya sempat menunjukkan rasa
suka saya pada seorang teman sekolah –yang mana terjadi sekali di SMP
dan sekali di SMA- namun yang terjadi sebenarnya adalah, saya berusaha
sebisanya bersikap biasa-biasa saja pada orang itu tapi ternyata dia tetap
sadar bahwa saya memperlakukannya berbeda dari teman lelaki lain. Tidak
penting? Iya, memang tidak penting. Lucu? Silakan tersenyum. Ironis? Silakan tertawa
miring. Saat SMP, saya bahkan sempat napak tilas tempat dia, sebut saja
R, bermain dengan teman-temannya menggunakan sepeda. Bukan stalking,
karena saya tiba saat mereka sudah jauh pergi entah kemana. Namun tetap memalukan
karena saya melakukannya setelah tidak sengaja mendengar rencana mereka menyambangi
tempat tersebut. Dan hanya karena ingin tahu bagaimana dia jika
di luar sekolah. Lebih freak lagi, saya sempat beberapa kali sengaja
pulang lewat area yang saya duga –dari hasil cerita teman SDnya yang kebetulan
sekelas dengan saya- adalah wilayah tempat dia tinggal hanya agar tahu dimana
persisnya rumahnya –yang di kemudian hari saya beralasan padanya, walau
memang benar, adik saya sekolah di sekitar situ-. Puncaknya, saya tahu kalau
dia sadar saya menyukainya ketika suatu saat saya
berangkat mruput sementara dia sudah di sekolah sedang bercengkerama
dengan teman-teman dekatnya di bawah ring basket, langkah saya mendadak terhenti
sendiri dan ragu bercampur malas untuk menapak lebih dalam. Bukan untuk
mengamati dia, justru ingin menghindar. Rupanya meski tubuh bagian atas saya
terhalang mading dia sadar itu saya dan tiba-tiba dia berlagak dengan dribbling
bola basket dilanjutkan shooting. Kalau saja teman dekat saya tidak bertanya
alasan saya belum masuk kelas, saat itu saya akan lebih memilih tetap sembunyi
di balik mading, membaca koran dan pura-pura tidak melihat apa yang dia
lakukan. Setelah saya masuk kelas –yang berarti harus melewati dia dan
teman-temannya dulu- dia menghentikan permainan basketnya dan kembali
berbincang dengan kawan-kawannya. Yang mengejutkan, beberapa saat yang lalu
ketika saya melihatnya lagi untuk pertama kali setelah delapan tahun dalam
suatu reuni, i just felt nothing. Literaly not-even-a-single-thing.
Hanya tersentak dengan perubahan drastis pada fisik maupun perilakunya.
Berarti, dua tahun perasaan itu tidaklah cukup bermakna bagi saya. Sungguh
melegakan, karena seharusnya saya tidak melanggar prinsip saya, hanya
menaruh perasaan pada teman sepengajian. Bagaimanapun, ketika SMA saya kembali
memandang beda terhadap seorang teman sekelas saya. Satu peristiwa paling nekat
yang masih saya ingat –dan saya sesali kini-, saya sempat mengirim pesan via FB
padanya, sebut saja si E. Isinya biasa saja: menanyakan kabar, minta maaf akan
hal yang sebenarnya tak perlu, tapi untuk ukuran saya saat itu yang dikenal
dengan perangai pendiam, tidak banyak polah, tertutup –apa bedanya dengan
sekarang ya? Haha- isi pesan tersebut sudah tergolong alay/memalukan
atau apalah itu istilahnya. Alhamdulillah, tidak pernah ada balasan dari E.
Namun sejak itu, beberapa kali terjadi sesuatu yang saya ragu apakah
berhubungan dengan pesan tersebut atau saya saja yang gegedhen rumongso:
ketika saya online di FB dan dia sudah online lebih dulu,
tiba-tiba dia offline tak sampai 10 menit kemudian. Alhamdulillah,
lambat laun menjadi biasa saja bahkan saya menjadikannya guyonan pada
diri sendiri; saya mencoba menghitung rekor berapa lama si E tetap online
sementara saya juga online. Pada akhirnya, sejak wisuda kelulusan saya
tidak pernah bertemu lagi dengannya dan, Alhamdulilah, bisa dibilang hampir
tidak pernah dia terlintas di pikiran saya. Kalaupun pernah, itu kebetulan
karena saya bertemu dan bernostalgia dengan tetangga sekaligus teman sekelas
saya dan si E. Tetap saja kini saya menyesal telah dua kali melanggar prinsip
saya sendiri.
Ketika saya
telah menjadi mahasiswa, beberapa kali saya “melihat” teman sepengajian dengan cara
berbeda. Tapi rerata hanya melibatkan kekaguman dan tidak sampai suka.
Indikator saya mengatakan saya hanya kagum atau suka, bila saya sampai menyukai
seorang lawan jenis biasanya orang itu muncul dalam mimpi meski cerita dan
peran orang tersebut dalam mimpi saya tidak istimewa –mungkin bisa dibilang
semacam cameo-. Hanya satu yang berdampak cukup serius dalam hati, dan tak
sampai setahun kemudian dia menikah dengan teman sepengajian lain yang juga
seangkatan saya. Hahaha.
Waktu terus
bergulir maju, tapi saya masih “trauma” dengan patah hati tersebut. Semakin
hari justru saya makin menutup diri dari “cinta pada lawan jenis”. Kalau
sekadar kagum tetap ada, entah itu pada yang lebih tua, sepantaran bahkan lebih
muda. Pada dasarnya, saya lemah terhadap orang-orang (lebih tepatnya laki-laki)
yang kefahaman agamanya kuat. Tentu, tidak bermaksud munafik, saya juga senang
menilai fisik seperti rupa dan harta, tapi yang membuat hati saya menjadi rentan dan kemudian membiarkan
seorang laki-laki muncul dalam mimpi –engkau salah kalau membayangkan mimpi yang
liar- justru ketakwaannya pada Ilahi, menjaganya pada tuturnya, ilmu agama yang
dimilikinya, kepeduliannya pada orang lain –dengan tidak membiarkan orang di
sekitarnya terjerumus dalam kesalahan- dan semua aspek umum dari seorang hamba
yang solih. Namun tetap saja, semenjak trauma tersebut sikap skeptis saya menguat.
Saya merasa belum siap untuk patah lagi. Efeknya, terhadap lawan jenis
nonmahrom siapapun itu saya cenderung apatis, walau sebenarnya sejak dulu juga
apatis terhadap laki-laki, apalagi terhadap orang yang padanya saya menyimpan
rasa. Saya batasi setiap rasa kagum agar tidak berkembang menjadi suka dan
berkilah pada diri sendiri bahwa dengan bersikap seperti itu apa yang tersimpan
dalam sanubari saya akan pudar juga, sehingga tidak perlu ada benak yang
mencelos jika suatu saat terdengar kabar bahagia dari orang itu. Ibaratnya,
laiknya seorang pecundang, saya sudah menyerah sebelum perang. Lagi pula, saya
selalu merasa belum cukup baik untuk membersamai orang yang saya sukai. Ia pantas
bersama perempuan yang lebih baik akhlaknya, peduli pada orang lain dan faham
agama. Masih jauh diri ini dari status solihah. Hingga di suatu titik, saya
merenung: jangan-jangan selama ini gayung tidak bersambut karena saya tidak
cukup serius menyukai seseorang: menyimpan semua di hati, berharap dalam
diam namun tidak menyerahkan perkara pada Yang punya semua perkara dan Maha
Mengubah hati. Maka saya meyakinkan diri sendiri: Jika kamu benar
menyukainya, segera sebutkan namanya dalam mohonmu padaNya, baru setelah itu
berharaplah dia menyebut namamu juga. Alhamdulillah, praktik sudah
terlaksana. Kali ini, saya menjaga perasaan tersebut. Meski tetap ada gundah apalah
diri ini dibanding orang mulia lagi terjaga seperti dia, di sisi lain
berkat Alloh saya merasa sanggup lebih legowo seburuk apapun perasaan
tersebut berakhir nanti. Saya tidak bisa menceritakan apapun tentang yang satu
ini karena semua telah saya serahkan padaNya. Yang jelas, lagi-lagi saya jatuh hati karena kefahamannya. Jika memang sudah jodoh pasti akan datang.
Mencintai itu indah
Berharap memang membuat rindu
[Tapi] relanya hati hanya ada
karena manisnya iman
Baiklah, saya rasa cukup demikian bab urusan hati. Ini saja sudah luar
biasa mengingat saya introvert parah terutama terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan hati/perasaan. Benar, di kehidupan nyata maupun maya
(re: medsos) saya memang hampir tidak pernah menunjukkan hal-hal pribadi yang
mengarah pada perasaan. Hei kau, siapapun kau yang membaca tulisan ini, saya sungguh
berharap kamu bisa memetik hikmah dari pengalaman saya. Bahwa jangan sampai kamu
terjerembab dalam lubang keledai yang sama seperti saya. Bahwa Tuhan
mengasihimu lebih dari cinta seseorang padamu, maka kembalikan semua padaNya
dan persembahkan cinta terbaikmu padaNya sebelum serahkan hatimu pada
makhlukNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar