Senin, 15 Februari 2016

.:Spoiler:.

Watch Out!!!


Uni Soviet, musim gugur 1962
“Jangan main-main! Percobaan ini saja sanggup menghancurkan peradaban manusia di satu negara kecil!” sergah Andrei Sakharov bernada tinggi.
Gebrakan tangannya di atas meja cukup mengejutkan beberapa orang yang ada dalam ruangan hening tersebut.
“Ah,” desah Vrehog Shrevka, utusan khusus PM Nukita Khurshchev bidang pengembangan teknologi dan senjata, dengan sedikit keras. Seluruh ruangan kini menatap padanya.
Cih, ternyata memang tak semudah menjentikkan jari untuk menyelesaikan ini, keluhnya kecut dalam hati.
Kerutan di dahinya tampak nyata ketika dia mencoba menampakkan keramahannya sealami mungkin.
“Maaf, tapi rupanya Anda tak begitu memahami apa sebenarnya tujuan negara kita dalam mengembangkan bom nuklir ini. Oh, barangkali anda bahkan belum mengerti betapa pentingnya kita melakukan hal ini,” tuduh Vrehog telak.
Sakharov menghela napas lirih. Bukan perkataan itu yang membuat hatinya remuk, melainkan karena sedih sekaligus takut membayangkan akibat dari percobaan yang dilakukannya bersama Kremlin, rekan fisikawannya. Dilihatnya api liar berkobar di mata Kremlin. Dia menerka, ilmuwan jenius rekannya itu tak akan mau menghentikan eksperimen ini.
“Satu hal yang harus Anda camkan, kawan, semua ini toh akhirnya demi perdamaian dunia,” tutup Vrehog, merasa di atas angin melihat sikap Sakharov sebelum dia melangkah keluar diiringi pengawal pribadinya.
Beberapa hari kemudian, sebuah ledakan bom nuklir memorakmorandakan sebuah kawasan tak berpenghuni di Uni Soviet, sementara pemerintah Uni Soviet meyakinkan masyarakatnya bahwa ledakan dahsyat itu hanya percobaan kecil yang tak akan menimbulkan efek fatal.
Sakharov hanya mampu menitikkan air matanya, membayangkan suatu saat hasil uji cobanya itu –meski dia sendiri telah menyatakan berhenti dari proyek pembuatan senjata pemusnah massal itu beberapa saat setelah insiden dalam ruangan—akan melayangkan nyawa ribuan nyawa anak kecil dan wanita serta pria dewasa di sebuah wilayah.
# # # # # #
Indonesia, 1138 tahun kemudian
“Aku mau nonton itu! Aku mau nonton itu!” lengking seorang balita setengah putus asa karena tak dipedulikan sambil menunjuk-nunjuk layar transparan TV kaca di depannya.
Di layar yang tipis dan memancarkan sinar optik sehingga mampu menampilkan siaran TV itu, seorang pembawa berita tengah khusyuk menyampaikan berita pada pemirsanya.
"Presiden Diolius Farekh dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa pemerintah belum dapat memberikan perlindungan personal kepada warga negaranya, seperti yang selama ini dituntut oleh masyarakat sehubungan suasana global yang memanas sehingga memungkinkan terjadinya Perang Dunia III akibat multipolaritas yang coba ditanamkan oleh negara-negara dengan hegemoni kuat, akibat sulitnya melindungi privasi negara setelah belum lama ini diketahui intel negara X telah berhasil menembus benteng baja basis data terbesar milik pemerintah Indonesia, meski beberapa hacker Indonesia pada akhirnya berhasil mengatasinya bahkan menambahkan lapisan perlindungan tambahan di garda terdepan yang hingga berita ini diturunkan diberitakan tetap aman."
“Iya sayang, mama tadi sedang menonton berita yang penting.”
Sang mama yang tak sadar terpaku lama pada acara berita pagi itu, segera menggeleng-gelengkan kepala sambil menekan salah satu tombol pada remote control di tangannya sehingga layar TV berubah menyajikan film animasi 4D anak-anak. Suaminya yang berusia awal 30 tahunan baru saja muncul dari kapsul magnetik yang berfungsi sebagai lift penghubung mansion mereka dengan mansion tetangga kanan kiri serta atas bawah, melihat gelengan istrinya ia berkata prihatin,
“Sepertinya sekarang kita benar-benar harus bekerja sama dengan para techno-designer muda kita bila ingin selamat dari ancaman serangan tiba-tiba.”
Matanya ikut terpaku pada bentangan tipis kaca transparan yang menyajikan film animasi kesukaan anaknya. Istrinya yang hanya terpaut 3 tahun lebih muda darinya tersenyum miris mengiyakan.
“Benar, dan bahkan baru saja ada berita bahwa pemerintah belum dapat memberikan perlindungan personal,” dukungnya sembari kembali menekan tombol remote control di tangannya, sehingga jendela lonjong di salah satu sisi ruang tamu mansion mereka bergerak ke arah dalam dan membuka ke samping dalam waktu kurang dari 10 detik. Pandangannya jatuh pada jendela itu dan kakinya melangkah pelan ke arah jendela. Setibanya di jendela, dia mengisi paru-parunya penuh-penuh dengan udara kaya oksigen yang diproduksi pohon elk, breech dan tanaman lain yang melalui rekayasa pemerintah telah disuntik dengan hormon giberelin hingga berukuran raksasa–pemerintah sepakat membudidayakan tanaman seperti ini di tiap wilayah hunian untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen mengingat hampir semua hunian pribadi berpindah ke mansion-mansion di atas tanah--. Bangunan yang berada persis di permukaan tanah hanya gedung-gedung komersial seperti Hypermart, bar, dan kantor-kantor pusat. Sementara sekolah ditempuh dengan teleconference bagi anak-anak yang malas naik ke tingkat dua deretan bangunan yang dihubungkan pipa-pipa baja dan beton raksasa itu, tempat berdirinya bangunan besar yang berfungsi sebagai tempat sekolah penghuni mansion. The New Babylonia, begitu julukan para penghuninya untuk kota mereka. Pemandangan ini terdapat di hampir semua kota seluruh negara berkembang di dunia. Tiang penyokong konstruksi limas segi tujuh raksasa tersebut berjumlah tujuh dengan jarak masing-masing dibuat sama panjang tanpa semilipun selisih sehingga mampu tepat menyangga ribuan mansion dengan pucuk terisi pusat pemerintahan.
Reva mengamati lingkungan di bawahnya dan melihat sekelompok tentara berkacamata GPS berpatroli cepat di atas lintasan magnetik yang menggerakkan boat magnetik mereka, pada lintasan kendaraan non-kereta yang berada di sebelah lintasan kereta yang mengandung magnet pula. Kedua lintasan itu meliliti tiang penyokong hingga puncak dengan sudut elevasi 50 derajat. Masing-masing tentara tampak membawa senapan rifle semi otomatis.
Sudut bibir Reva terangkat tipis.
“Lihatlah, setidaknya pemerintah sampai menyiagakan tentara yang dilengkapi MP40 berlaser demi melindungi warga negara seperti kita dari invasi mendadak,”
Avar menggelengkan kepala. Dihampirinya Reva, pandangannya menerawang titik yang diamati sang istri.
"Kamu kira itu cukup? Bahkan teknologi yang mereka gunakan akan ditertawakan di negara X."
Reva membalikkan badan, jemari tangan kanannya meraih lamat pipi Avar.
"Aku tahu, mon amour. Aku tahu. Aku hanya ingin optimis. Jangan lupa, kita masih punya asa,"
Avar memejamkan mata, merasakan ketenangan mengalir dari sentuhan jemari istrinya. Benang kusut di otaknya perlahan tenggelam.
Reva meneliti sejenak raut di hadapannya sebelum tersenyum sedih.
"Istirahatlah, aku tidak tahan melihat wajah kelammu ini."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar