Minggu, 13 Juni 2010

Tentang Wisuda






      Baru mulai menulis saja sudah tak tahan terbahak-bahak. Lucu sekali... tipe muka sepertiku (masih tertawa). Sekaligus mengenaskan sekali (senyum langsung hilang). Awalnya, aku sudah berpikir-pikir akan merias wajahku sendiri. Termasuk kerudung dan tetek bengeknya. Ayah ibu cukup mengeluarkan uang untuk menyewakanku rok batik. Lalu lama-lama...
1.    Aku melihat kebaya hijau emas milik ibuku kecil dan PAS DI BADAN (oh, astaga, ibuku yang malang, beliau bilang semisal itulah badannya dulu ketika SMA!). APAKAH INI BERARTI AKU GEMBROT? Astaghfirullahaladzim...(menangis sambil menekan-nekan perut karena terlalu banyak tertawa). Kuputuskan untuk minta ortu menyewakan kebaya juga. Aje gile, ogah ya, pake baju ketat! Walau bagusnya masya Allah.
2.    Nah, ini biang keladi masalahnya. Aku, cewek yang sedari lahir (?!) tidak suka dandan, penasaran: seperti apa rasanya dirias? Apakah bila aku dirias orang lain akan terlihat lebih ‘kinclong’? Tapi aku sudah menyimpan jawaban terakhir; bila si-perias-yang-bukan-diriku-sendiri-itu berkualitas te.o.pe., maka jelas: ya. Sayangnya, aku sudah keburu berharap bakal terjadi perubahan signifikan. Jadi... kuminta pihak persewaan kebaya untuk sekaligus meriasku.
3.    Karena sudah teracuni oleh pikiran-setan-semacam-nomor-dua di atas, aku lagi-lagi berpikir: kenapa tidak sekalian minta kerudungku dirias di sana juga? Toh, karena sudah berpengalaman, mestinya hasilnya lebih bagus daripada yang pernah kucoba sendiri.
    Kucoba sendiri? Ahai, benar, saudara-saudara! Aku sempat mencoba sendiri merangkai kerudung hijau dan kuning pasta sesuai warna kebaya ibuku hanya beberapa jam setelah aku pulang dari salon+persewaan baju tersebut di atas. Aku menyempatkan diri membaca-gratis-di-Gramedia-majalah-fashion-muslimah-untuk-kalangan-remaja-karangan-seorang-mahasiswi-pemilik-rumah-mode untuk menyiapkan kemungkinan aku harus merias sendiri ini. Kutambahi gelang manik-manik ungu kecil milik kakakku, dan wajahku bahkan tidak kububuhi bedak, apalagi yang lain, hanya lip balm transparan yang sehari-hari kupakai. Lip gloss? Tidak. Foundation? Nihil. Eye Shadow? No way (ahaha, malah ngelantur). Saat melihat hasilnya, aku memang merasa tatanan kerudungku kurang rapi dan cerdik; sehingga entah bagaimana ceritanya ujung belakang dan samping kanan kerudung tidak bisa kukepang bersama sisa gelang yang menjuntai (oke, kepanjangan. Baca saja: ketiganya terlalu pendek untuk dikepang); aku belum memakai pump shoes batik coklat krem berpita yang menurutku tidak semengerikan high heels; serta wajahku jelas membutuhkan foundation ringan yang dipakai tipis dengan satu tingkat di atas warna kulitku; bedak senada foundation; eye shadow hijau terang yang dipoles tipis di ujung dalam kelopak mata; dan lip love Vision V* yang di tutupi lip gloss berry tipis sehingga warna yang dihasilkan sewarna bibirku bila makan-minum yang terlalu panas atau pedas; tapi aku cukup puas. Tak ayal karena dengan begitu aku jadi tahu apa saja yang perlu kubenahi dan kusempurnakan bila aku benar-benar harus dandan sendiri. Lagi pula aku senang bisa menciptakan sendiri gaya berkerudung-menutupi-dada-yang-kupraktekkan-saat-itu, yang bila jadi kukenakan saat wisuda aku yakin akan jadi satu-satunya yang berkerudung dengan style seperti itu. Memang, aku sudah menebak akan menemui beberapa teman yang mengenakan kerudung dengan model dikepang sepertiku. Tapi bila dengan kepang samping+untaian manik-manik di kepala+keadaan kerudung yang tak dimasukkan ke dalam kebaya? Ha, kutebak, tak ada. Hm, kira-kira seperti ini visualisasinya.


     Ok, itu hayalan *ngarepdotcom* (image cr to Sheepikos)
Di hari-H, yang tak kuinginkan satu persatu terwujud. (Saran: baca dengan tempo lambat) Pertama, terlambat diantar ke salon. Kedua, aku baru menyadari kebayanya jatuh di badanku tidak sebagus saat masih tertambat di gantungannya. Ketiga sekaligus penutup ter-menyeramkan... aku melihat ke kaca salon dan menjerit dalam hati: INI TOPENG ATAU MUKA?? INI BUKAN AKU!!!
    Bagus. Kini aku hanya harus menunggu didrop ayahku ke AA YKPN sambil berusaha meyakinkan diri: aku sudah dan memang meminta dirias transparan, jadi tak perlu khawatir mukaku terlihat menor.
    Saat aku pulang: Akmal, si-bocah-TK-nol-kecil, cekikikan melihat tampangku dan berkata tanpa dosa: “Waaa... kak Dina kayak manten!”; Nadia, si-bengal-kelas-dua-SMP, berteriak histeris penuh kehebringan: “Aaah hah hah hah hah... kak Dina kayak lenong!”; Diah, cewek-(sok)-imut-kelas-dua-SMA, mengangkat sebelah alisnya dan mencibir miring: “Dengan gitu kak Dina makin mirip Bu Wid”; dan ayahku berkomentar cengengesan terhadap fotoku bersama Tia dan Ajeng: “Wah, ada nenek-nenek tuh yang paling kanan!”. Maka kujambak ketiga bocah tengil itu dan kujedotkan satu sama lain, sementara ayahku kusambiti dengan batu sebesar gabang. YA ENGGAKLAH.
    Yang terjadi adalah, aku terbahak sejadi-jadinya. Aku SETUJU dengan mereka. AH HAH HAH HAH HAH!!! (lengkingan kekeh nenek lampir)
    Mau tahu apa yang kulihat di kaca salon? Cewek di cermin separuh badan itu nyengir kuda dengan bibir pink keunguan, mata sipit berkelopak gelap melang-meling, dan kulit coklat-aneh. Plus, kerudung yang DIMASUKKAN ke dalam kebaya.
    O eM Ji.
    Padahal aku sudah berharap berpenampilan beda dengan gaya berkerudungku sendiri. Padahal aku sudah meminta pihak salon untuk memakai foundation dan lip gloss berry yang kubawa sendiri. Padahal aku sudah berangan akan memakai pump shoes lucu itu. Dan yang terpenting, padahal aku sudah minta agar dirias transparan a.k.a. kalem (sifat melankolis keluar).
    Banyak yang kusesalkan, tapi bagian yang paling parah adalah : perlu sampai EMPAT KALI pembersihan dengan make-up remover hanya untuk menghilangkan FOUNDATION+BEDAK+EYE SHIMMER yang ternyata dipulaskan ibu pemilik salon yang baik hati ke wajahku masya Allah tebalnya.
    Baiklah. Pengakuan. Sebenarnya aku tidak menyesal-menyesal amat. Di awal acara, iya. Tapi lama-kelamaan, terutama setelah keluargaku mengomentari, yang kurasakan malah sakit perut gara-gara geli melihat mukaku sendiri (cekikikan lagi, masih memegangi bawah dada). Ha ha ha ha ha.
    Aku mensyukuri kebaikan keluarga Andi -atau Anis, begitu panggilan sayang keluarganya- yang membiarkanku mendesak-desak mereka di antara kursi penumpang belakang mobil sedan mereka saat kembali ke rumah. Juga mensyukuri bisa langsung mandi kembang tujuh rupa (hahaha, lebay nian atuh) begitu sesi membersihkan muka selesai, saking gerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar