I think I could forget him. Get amount energy enough to hush him away. Entonces, i wake up from my asleep: he’s comin’ to me. In my wild dream. And, in fact, i always watch him out amazingly whenever i can see him.
Three guys stand there. Atra, Aul and..., him. His back's on me, He walk off. And i can't stand anymore.
I call his name. Completely. My hands lift up, trying to reach him out. He turns his head. Turns his body towards me. He walks to me, leaving the two others. He grabs both my hands. We’re quiet for some minutes. He sees through my eyes. His lips barely smiles, but i can see how his corner lips moved a little. God, i could swear a slight light passed his eyes the time he turned to me. Words spitted out,
“You're the one who called me out that time?”
He directly understands, even beaming after.
“Yeah.”
His hands holds mine. Strong, protecting without being obsessive. I felt i can't ever let my eyes off his.
“Thank you. That's so close. If only you didn't call my name...",
The clench loose a bit, his mimic warms up.
It's quiet again, till every dreams about him gathers up by the edge of my throat. Darn it, i wish i'll never wake up from this.
“I'm glad you hold me back” he confessed.
Embun bercahaya merangkak naik dari perutku ke dada kemudian kepala, meninggalkan ketenteraman dan kesejukan yang melingkupi seluruh tubuhku, seakan baru kali itu embun itu menghinggapiku.
Aku menanggapi sebiasa aku bisa menahan bungkahan di tenggorokanku, “Kali ini aku cukup berani untuk memanggilmu,” twinkling colours in his eyes blinking brighter, “tidak hanya menatapmu”, sambungku jengah, and brighter.... Tiba-tiba aku merasa wajahku memanas.
He still grabs my hands, but…
“Aku tahu, tapi maaf, aku harus segera pergi,” the rainbow in his eyes sinks…
Tenggorokanku tercekat, mataku telah mengatakan segalanya, pun matanya. Tapi dia seakan membutakan mata dan menulikan telinga. Punggungnya tetap berbalik menghadapku, kakinya mulai menjauh...
Rintik di sudut netra mengaburkan pandangku. Suara tercekik keluar dari pita suaraku,
“Jangan pergi...”
Dan dia berhenti, memelintirkan bahu dan kepalanya ke arahku. Oh, benarkah itu? Benarkah itu? Sinar matanya padam melihat rintik di sudut mataku? Rahangnya mengeras mendengar isakan lirihku? Badannya mematung.
Tapi lalu, lamat-lamat, sangat pelan, dia luruskan badannya. Dia pergi. Dan tak berhenti lagi.
Rintik telah menderas.
Lalu aku terbangun.
Ada satu hal aneh, maka aku bertanya-tanya dalam hati: Kenapa tak ada setetes airpun menitik dari mataku? Saat melihat langit yang kemerahan di luar sana, aku sadar: aku akan baik-baik saja bila harus melupakan perasaanku padanya. Buktinya, toh aku tak menangis walau rasanya ingin. Beberapa waktu kemudian aku mendapati diriku lega luar biasa. Lega melihat mataku tak basah, juga lega karena itu hanya mimpi. Aku bukan gadis cengeng, meski juga bukan gadis tegar yang menghadapi setiap risiko dan tantangan dengan kepala tegak serta penuh optimis. Oh, dan aku ingin mengucapkan terima kasih padanya telah membuatku belajar menyukai seseorang apa adanya.
Dan aku tersenyum penuh arti melihat dunia. Duniaku. Dunia kita semua.
terkadang kenyataan menjadi aneh bila dijadikan cerita. begitu pula sebaliknya, acap kali cerita terasa tak masuk akal
BalasHapus