Seperti apakah rasanya tak bisa mendapatkan apa yang sangat, sangat diinginkan? Apakah kamu akan menangisinya –terasa kekanak-kanakan, memang—, atau akan menghela napas berat agar matamu yang hampir menumpahkan air mata menjadi lega kembali, ataukah akan mematung sejenak lalu tersenyum pahit sambil berkata dalam hati: “tak apa-apa, masih ada hari esok. Toh aku tidak mati hanya karena impianku tidak tercapai”? Ketiganya menunjukkan kedewasaanmu. Barang kali, aku termasuk yang tengah.
Jarang sekali aku menggantikan ibu mengurus rumah selama seharian penuh. Biasanya itu hanya terjadi saat ibu harus ke rumah bersalin, sehingga selama satu-dua hari (dan minimal semalam) tidak berada di rumah, itu pun seingatku baru 3 kali, sejak aku, bukan kakakku, sudah cukup besar untuk bisa diamanati ibu melakukannya. Tapi kali ini, ibu terpaksa berada di luar rumah seharian karena suatu hal yang sudah pasti berbeda dengan keadaan sebelumnya. Karena kedua kakakku sedang pergi –yang paling tua ke Bandung dan lainnya rapat organisasi—dan adik-adikku sedang maupun akan menghadapi ujian semesteran serta ayahku sedang mengikuti rekreasi kantor tempat beliau bekerja, ibu pun memilih aku kembali sebagai orang yang beliau amanati untuk menjaga dan mengurus rumah. Sedari maghrib hingga pagi buta, lalu karena dua adikku yang masih TK harus datang dalam lomba marching band sekabupaten, ibu pergi kembali dari 2 jam berikutnya hingga pukul 12:00, dan tak sampai 1 jam kemudian pergi ke gedung Mandala Bhakti Wanitatama dalam rangka memenuhi undangan resepsi pernikahan. Otomatis, aku mesti menyelesaikan semua pekerjaan yang biasa ibu lakukan pada jam-jam itu. Memang pada malam harinya, adik pertamaku yang bernama Diah, yang kuamati sebenarnya cukup peduli dengan tanggung jawab ibu ini, sempat membantuku mencuci piring-piring, sendok-sendok, garpu-garpu, gelas-gelas, wadah-wadah bekal nasi serta panci-panci kotor yang menumpuk begitu banyak sehingga aku hanya bersemangat menatanya saja tanpa melibatkan diri mencucinya serta pada pagi harinya menyetrikakan atribut perang adikku yang hendak mengikuti lomba. ‘Kerja bakti’ku sendiri, entahlah... menyebutkannya satu persatu pasti akan membuatmu bosan dan lama-lama mendengkur, hahaha. Sebenarnya tak masalah seberapa banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, karena aku memang telah berjanji dalam hati akan membantu ibu sebanyak mungkin bila telah datang waktunya aku memiliki banyak waktu luang tanpa harus sekolah dan tetek bengeknya. Yang menjadi problem adalah, aku tipe orang yang mudah berkeringat dan dengan begitu mudah kepanasan –apa ada hubungannya dengan kulit hipersensitifku? Hm, aku yakin akan segera mengetahuinya bila sudah mulai kuliah nanti—sehingga pekerjaan biasa seperti menyetrika baju-baju ayah ibu dan adik-adikku, menyapu halaman dan mencuci pakaian secara manual pun –mesin cuci kami sudah lama rusak, hahaha- sanggup membuatku banjir keringat plus bermuka merah padam layaknya sehabis lari keliling komplek sekitar sekolah 2 kali saat ujian olahraga dahulu, akibat aku selalu tak ingin melakukan segala hal secara sembrono dan asal-asalan, melainkan harus sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Dan aku tak menyukai fakta itu. Maka sebisa mungkin selama ini aku menghindar dari pekerjaan itu. Sayangnya... kali ini aku jelas tak bisa, dengan keadaan rumah yang begitu sepi karena para penghuninya sedang sekolah atau kuliah atau lainnya, hanya ada adikku yang terkecil dan aku. Alhasil, aku menghabiskan 2 jam hanya untuk menyikat 2 ember besar + 1 baskom-yang-lebih-besar-lagi pakaian kotor keluargaku, air asin menetes-netes dari pelipis, anak-anak rambut hampir menutupi kening –yang keadaannya mirip dengan Mulan setelah diterjang badai gurun pasir dalam live movie berjudul si tokoh tersebut--, dan punggung –atau boyok, eh?—pegal tanpa ampun. Lengkap dah, tinggal ganti nama jadi Mbok Inem atau si Inah atau Mbak Yem. Hahaha.
OK, kembali ke fokus awal. Hubungan aku-harus-mengganti-posisi-ibu dengan aku-termasuk-kategori-kedua adalah, setelah ibu pulang dari mengantar dan menemani dua adik dari mengikuti lomba marching band dan kebetulan aku baru saja selesai menjemur, aku jadi ingin sekali ikut ibu menghadiri resepsi pernikahan, karena sebelumnya aku jengkel sekali –dan kemudian mengaku stress pada ibuku, haha- mendapati kenyataan tak ada saudara lain selain Diah yang mau membantu. Maka tak ada salahnya aku mencari sedikit hiburan dengan ikut pergi ke acara itu. Barang kali karena saking jengkelnya aku saat itu sampai-sampai aku begitu ingin ikut pergi dan tidak memikirkan hal lain seperti, siapakah yang akan menjaga rumah bila aku juga pergi? Meski saat itu kakakku sudah pulang dari rapat, bukan berarti dia mau menjaga rumah karena masih ada kegiatan lain yang mesti dilakukannya, atau apakah tak masalah meninggalkan adik terkecil hanya dirawat oleh enam kakaknya yang baru duduk di bangku TK dan SD? Maka pertanyaan-pertanyaan itulah yang diajukan ibuku setelah aku menyampaikan keinginanku. Aku langsung terdiam, bertambah parah saat seorang adik berkata pada ibu dia ingin ikut pula. Akhirnya dia pun turut pergi dengan ibu setelah ibu menyuruhnya bertanya padaku –barang kali karena melihat perubahan air mukaku saat ibu menyampaikan keberatannya atas keikutsertaanku-- apakah boleh dia ikut, menggantikan si-calon-pertama-yang-tak-lain-aku-sendiri. Aku sendiri merasa tak keberatan tentang siapa atau apakah ada yang akhirnya ikut ibu, tapi tenggorokanku langsung tersumbat kencang saat itu juga –meski kau salah besar jika mengira air mata menetes keluar juga--. Memalukan ya? Hanya karena sedih gagal menghibur diri dari kejengkelan yang sebenarnya tak perlu saja, bereaksi seperti ini. Hem, tapi aku bersyukur sekali, eh, coba kuulangi, aku betul-betul bersyukur, dalam urusan perasaan terhadap lawan jenis, --seperti yang telah aku ceritakan di sini—aku tak pernah benar-benar merasa depresi atau sedih menghadapi keinginan yang tak tercapai. Atau secara simbolisnya, aku cukup percaya diri mengatakan aku termasuk golongan terakhir dalam hal ini. Hahaha. Peace! (^0^)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar