Jumat, 11 Juni 2010

My Ordinary Life

               Bakayarou. Aku ingin dan sedang berusaha mencari arti nama kata itu. Kalau di buku belajar bahasa Jepang kak Anisa tidak ada aku akan cari di tempat lain. Penasaran. Dan ternyataaa, itu salah satu kata makian, kurang lebih bermakna "Kamu pintar tolol!"
    Baru sembuh dari flu ringan, kutengok langit. Duh, mendung lagi. Aku teringat, kemarin, dengan coat-kulit-berbulu milik ibu melekat di tubuh gegara flu, aku menjemur cucian yang tak sempat dijemur ibu, setelah memberesi jemuran hari sebelumnya tentu, padahal aku tipe orang yang gampang berkeringat. Lah... baru sebagian terjemur, tetiba "tes... tes... tes... bresh....." yah, akhirnya pakaian kumasukkan kembali, sekaligus meneduhkan handuk & baju tidur, lalu meneruskan menjemur dalam rumah. Turun lalu istirahat dengan badan penuh peluh.
    Aku tidak suka sakit jika melihat keluargaku. Karena aku jadi tidak bisa maksimal dalam meringankan kerepotan ayah-ibu dan saudaraku. Aku juga tidak suka sakit bila mengingat teman-temanku. Karena aku jadi tidak bisa ikut tertawa bersama mereka, apalagi membuat mereka senang. Lagi pula, tiga hari lagi adikku ulang tahun. Dua hari lagi aku akan bertemu terakhir kalinya dengan teman-teman sekolahku sebagai sesama pelajar melalui wisuda. Itulah mengapa, sekarang aku berharap panasku segera turun sehingga aku bisa segera menggulung lengan baju dan menjalani semua kembali.
    Wah jan (opo ‘wajan’ sisan wae yo? Hihihi) ra penting tenan, nulis ra ana juntrungane kaya ngunu. O.K., ganti topik.
    Kalau dipikir-pikir, orang Indonesia hebat dalam hal bahasa ya? Masa, tiap suku punya bahasa daerah sendiri-sendiri tapi juga punya dan memakai bahasa nasional Indonesia... berarti setidaknya tiap orang bisa dwibahasa dong... walau satu lokal satu lagi nasional. Belum lagi kalau menguasai bahasa Inggris dan bahasa slang, berarti kan jadi tri/caturbahasa... (lama-lama jadi caturbahasa, pancabahasa, heptabahasa, blah, blah, blah... ) Kan bagus tuh? Coba bangsa lain, kan belum tentu tiap daerahnya punya bahasa yang bhinneka laiknya Indonesia tertjintah? Yang sering justru satu bahasa dengan banyak logat. Jadi makin bangga sebagai anak Indomienesia nih. Asal tidak setiap situasi menerapkan bahasa slang saja. Alay (atau bhay, kalau kata adik kelasku)
    Kata Seneca, “Semua kekejaman muncul dari kelemahan”. Just like me, I think. ToT
Sebab nyatanya aku memproyeksikan kelemahanku dalam menghadapi seorang teman antagonis zaman SD menjadi kekejaman tingkat akut terhadap adik-adikku... Menyedihkan sekali, orang dengan sifat seperti ini. Tidak bisa menghadapi masalah dengan kekuatan hati dan moral. Aku bukannya kasihan pada diriku, atau pada orang sepertiku, tapi kasihan pada korban yang bertimbulan karena perbuatan orang sepertiku. Bahkan seakan tidak cukup, aku membuat mereka marah padaku. Padahal aku yakin aku sayang mereka, terutama keluargaku. Ingin membahagiakan mereka. Ingin membela mereka bila mereka benar. Ingin terus berada bersama mereka. Terus mendukung mereka walau sembunyi-sembunyi. Padahal dalam hati aku selalu menegaskan aku mencintai mereka. Selalu dan selamanya. Tapi buktinya? Masih saja aku sering menyakiti mereka. Dan, mengherankan sekaligus membuatku bersyukur sekali, orang dengan tabiat jelek sepertiku ini, bisa-bisanya dianugrahi hidayah Quran Hadis oleh Allah. Tiket untuk masuk surga. Kesempatan paling luar biasa yang langka. Sangat langka, maksudku. Langka karena kemungkinan ditemukannya 1 diantara 100.000 orang di dunia fana  ini. Alhamdulillah... Sebaliknya, miris, miris sekali, orang-orang yang justru jelas memiliki hati yang mulia, orang-orang seperti Lady Di yang disayangi banyak orang dan Bunda Theresa yang dikenang begitu banyak orang karena pengabdian keduanya yang luar biasa pada masyarakat, atau orang secerdas Albert Einstein, yang begitu besar jasanya dalam IPTEK hingga menjadi simbol kecerdasan, tidak terciprat hidayah ini. Sungguh, sayang sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar