Sabtu, 05 Juni 2010

A Story

Pernahkah kamu merenung, seberapa jauh kau sudah membalas kebaikan-kebaikan, kasih sayang, dan pengabdian ibumu? Sempatkah kamu berpikir betapa kamu telah durhaka karena sampai saat ini pun tidak mampu mengimbangi semua yang telah diberi ibumu? Apakah terlintas di benakmu, selama ini diam-diam ibumu menitikkan air mata melihat ulahmu-yang-tidak-berterima-kasih?
    Itu semua kurasakan. Dan dengan jujur kukatakan dengan kepedihan, aku tidak benar-benar mendapati diriku menyesal hingga rasanya dadaku bergemuruh sesak mengetahui diriku separah itu. Setiap saat.
    Kami keluarga besar, dalam arti sebenarnya. Memiliki 13 anak dengan anak paling besar sedang kuliah semester akhir dan anak paling kecil baru 2 tahun,  kedua orang tuaku harus bekerja keras menghidupi dan mendidik anak-anaknya. Dan ibuku, beliau sendirian mengurus anak-anaknya yang kesemuanya belum mencari nafkah sendiri. Benar, tak ada asisten rumah tangga yang bisa meringankan pekerjaan ibuku. Ini terjadi sejak tahun 2001, atau seingatku, saat anak terkecil adalah adik ke-5ku. Maka, meski tak ada hubungannya dengan jumlah anak –sebab setiap anak memang mempunyai kewajiban berbakti pada orang tuanya-, sudah sepantasnya kami anak-anak beliau membantunya mengurus rumah.
    Selama ini, aku selalu berpikir aku harus mengurus rumah –mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, mengurus adik-adikku, membersihkan rumah, de el el- karena hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuat ibuku tersenyum. Walaupun banyak hal kecil lain kulakukan pula untuk membuat beliau senang. Tapi bagiku mengurus rumahlah yang paling penting. Itu memang sudah benar. Tapi nyatanya? Jarang sekali dalam sehari aku membantu ibuku. Entah karena aku terlalu sibuk, pergi sekolah jam 07:00 dan sampai rumah 14:00 lalu mengaji empat hari dalam seminggu –Senin, Rabu, Kamis, Jumat- dari pukul 20:00 sampai 22:00 atau les dari pulang sekolah sampai maghrib, atau latihan asad dari 16:00 sampai maghrib pada hari Jumat, atau GP tiap hari Sabtu -pukul 16:00 hingga esoknya jam 06:00- atau Minggu –dari jam 09:00 sampai 15:00-, dimana berarti aku hanya punya waktu kosong untuk tinggal di rumah mengurus rumah tanpa seharian menghilang dari rumah pada hari Selasa. Itupun kalau aku tidak punya acara yang kutempatkan di hari itu karena tidak ada waktu di lain hari. Belum lagi aktivitas pribadiku yang tidak ada hubungannya dengan mengurus rumah, yang mau tidak mau juga turut menguras habis waktu yang tersisa untuk mengurus rumah dan berarti juga mengurus adik-adikku, serta kemalasan-kemalasanku membantu ibu dengan alasan capai setelah seharian pergi. Padahal itu semua hanya karena aku tidak bisa memanfaatkan waktu yang tersisa dengan baik untuk menolong tugas rumah ibuku.
    Ibu mengasuh kami semua dengan penuh kesabaran ketika kami masih terlalu lemah untuk mengurus diri sendiri, meskipun, sebagai dampak kekurangajaran kami pascamasa anak-anak, ibu kini sering marah pada kami. Suatu pencapaian luar biasa yang akan dirayakan besar-besaran oleh iblis dan bala tentaranya. Suatu kali, aku sedang mengisi botol air putih di dapur dengan kasar akibat kesal tidak ada yang ikut, dengan cukup andil, membantuku seharian membereskan rumah. Ibu yang baru saja pulang dari mencari nafkah berkata padaku, “Kamu baru sehari mengurus rumah saja sudah kesal, apalagi ibu? Ibu dulu mengurus kalian semua sendirian karena kalian masih kecil-kecil, tidak ada yang bisa membantu ibu. Padahal asisten rumah tangga sudah tidak ada waktu itu, dan ibu melakukan itu tiap hari. Begitu terus hingga adikmu yang terakhir. Nah, kamu bisa bayangkan tidak, betapa beratnya pekerjaan ibu?” Jujur, aku tidak melewatkan begitu saja kata-kata ibu dari kuping kanan ke kuping kiri, tapi kenapa, kenapa hatiku tak merasa sesak? Kenapa seakan-akan aku hanya berpikir aku merasa sedih? Padahal dahulu aku selalu sanggup meneteskan air mata bila ibu mengeluh serta menasihatiku demikian. Apakah ini karena aku semakin kurang ajar pada ibuku? Apa karena hatiku semakin tidak sensitif terhadap kebaikan? Atau karena aku merasa sudah cukup berbakti pada ibuku? Ataukah karena ketiga-tiganya? ... aku sungguh berharap tak satupun dari ketiganya menjadi penyebab sikapku ini.
    Aku berusaha menjemur tiap hari, merapikan dan membersihkan meja makan serta dapur, mencuci piring-piring keluargaku, merapikan dan menyapu seluruh lantai dan halaman rumah, menyetrikakan seragam adik-adikku, melipat baju-baju saudaraku dan pakaian-pakaian ayah ibuku, memandikan adik-adikku yang masih TK dan bayi, menyuapi adikku, membersihkan rumah serta menjaga rumah saat ibuku pergi. Tapi itu JELAS kurang. Dibandingkan dengan semua barang dan jasa yang telah ibu dan ayah berikan padaku serta beratnya beban pekerjaan ibuku? Itu jelas bukan apa-apa. KENAPA aku masih seperti ini? Kenapa hingga kinipun aku masih saja tidak banyak membantu ibuku? KENAPA? Aku selalu berusaha membantu ibuku, terutama bila ibu berpesan supaya aku menjaga rumah saat ibu pergi mencari nafkah tambahan untuk mulut-mulut kami. Ibu sendiri pernah berkata, aku paling peka terhadap pekerjaan rumah dibanding saudara-saudaraku yang lain. Tapi kenapa, kenapa kenyataannya aku JARANG bisa seharian penuh mengurus rumah? Kenapa aku sering ikut bermalas-malasan melihat saudaraku juga tidak tergerak untuk membereskan rumah? Kenapa aku begini parahnya? Kenapa kami, khususnya aku, selalu membuat hati ibuku mendung? Kenapa kami jarang sekali bisa membuat ibu tersenyum melihat karya kami dalam berbakti pada beliau? Kenapa dahulu dengan sekarang baktiku pada ibu sama saja? Kenapa tidak ada kemajuan sedikitpun terhadap baktiku yang sangat minim ini dari dulu hingga kini? Aku gagal menjadi anak yang berbakti apalagi sholihah, meski selalu kuyakinkan pada diriku, masih ada kesempatan sebelum semuanya terlambat. Aku belum bisa membuat ibuku tersenyum ridho padaku karena bakti yang kuhaturkan padanya. Aku bahkan sering meremehkan kewajiban-kewajibanku sebagai anak. Selalu menginginkan dan sering mendapatkan hak-hakku tapi acap kali lalai kewajibanku berbakti. Padahal ibu telah begitu sayangnya pada kami. Padahal ibu telah begitu berkorbannya untuk kami, hingga rela hanya bekerja sebagai konsultan perusahaan kosmetik Swedia yang penghasilannya tidak begitu besar akibat tidak pernah bisa seharian keluar rumah mencari konsumen dan merekrut downline baru, hingga rela tidak bekerja sesuai titel sarjana jurusan kimia MIPA UI yang dimilikinya karena kecerdasannya, hingga rela membagi rezekinya sendiri dengan kami terutama adik-adikku yang masih kecil. Ya Allah, apakah dengan begini berarti kami, khususnya hamba, termasuk anak durhaka? Ya Allah, kenapa hingga kini kami tidak bisa membuat ibu bangga memiliki anak-anak seperti kami? Dan kenapa hamba tidak sungguh-sungguh merasa menyesal telah melakukan perbuatan sebiadab ini? Kenapa? Kenapa?
Astagfirulloh aladzim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar