Jumat, 01 April 2016

Homo sapiens, This Is My Deep Condolence

I know very well this post has been late about 33 minutes from my promise, but writing all-in-English-post while maintaining this difficult thought is kinda ...burdensome (giggle), regardless of my expensive free-time. Still, here it is, a brief words of mind. Enjoy.

People these days, they keep me surprised.  Praising one and another face to face, stabbing each other in the back. No wonder conflicts  spread everywhere.  Everyone gets hurt. Even the ones i thought quite tough can’t hold tears out.  How come we throw those words out lightly? I'm afraid it is most likely similar to what Prophet Muhammad SAW once told us as in Sunan Ibnu Majah (4058): "My people's generations will be divided into 5 phase: 40 years of  ahlu taqwa and ahlu birri (love to do good things), followed by 80 years of people with closest characters like the first ones, continued by 40 years of people loving and caring each other and people like them, then years of generations of hatred and broken family brotherhood, finished by years of killing each other." Although it's barely the third phase, I’ve no words rather than pray in order to beg God not to let His guard down over me. And over all muslims. Aamiiin.

Senin, 15 Februari 2016

Sabtu, 02 Januari 2016

Kepada Kamu


Hei kamu,
namamu masih tersimpan di lauhil mahfudz,
tapi telah kutuntut kamu.
Hei kamu,
tidak banyak yang kupinta darimu,
tapi kumohon maknailah sedalam-dalamnya
Hei kamu,
bahkan aku belum tahu siapa kamu:
tapi kamu harus mau jadi yang keempat.

Sabtu, 12 Desember 2015

Nampar atau Nabok atau Apa? XD

Iya sih, sedini mungkin semestinya seorang anak dikenalkan dengan batasan mahrom. Tapi terkadang sulit menghindari kontak kulit dengan bocah lawan jenis.
Iya sih, semestinya pendidik harus punya banyak alternatif cara menangani setiap anak. Tapi saya pun masih belajar, belum semua karakter anak saya kuasai cara berkomunikasinya.
Terkadang, ketika anak kinestetik mulai beraksi, saya kewalahan. Menurut ilmu parenting skill, cara "memenangkan" dan menenangkan anak kecil yang paling ampuh adalah dengan berbicara menatap langsung mata si anak sembari menyesuaikan tingginya dan memegang tangan atau bahunya dengan lembut dan hangat. Atau jika tujuannya menasihati, lebih baik lagi sambil mengelus kepalanya. Jadi bagaimana menerapkan teori tersebut pada anak kecil lawan jenis sambil tetap menanamkan pemahaman batasan mahrom padanya? Di situlah saya masih kesulitan. Lagi pula saya bukan tipe penyabar. Dalam artian, ketika ucapan saya kurang membuahkan hasil saya cenderung langsung turun tangan menenangkan si anak seperti cara di atas. Pada akhirnya, kepada anak kecil laki-laki saya lebih sering menggunakan isyarat tangan seakan-akan saya sedang memegang pipinya atau pundaknya atau tangannya. Sempat terlintas, rasa-rasanya kalau dilihat sekilas malah seakan saya menamparnya atau memukul angin tapi dengan tujuan bahu/tangan si anak. Haha. Ya sudah, yang penting niat saya baik.
Baiklah, akan saya pikirkan lebih dalam. Biasanya asal saya pikirkan baik-baik, Alloh memberi ilham pada saya. Namun kalau pembaca punya solusi lebih nyaman, bagi dong :)
Thanks.

Rabu, 18 November 2015

Bangkit dari Mati Suri

Hai semua!
Hanya ingin mengabari, insya Alloh ke depan saya akan lebih disiplin menulis, apapun isinya. Saya tidak bisa menjanjikan rajin menulis, tapi akan saya usahakan minimal satu post diterbitkan perbulannya. Entah pendek entah panjang. Bagaimanapun saya tak ingin tempat ini dipenuhi jaring laba-laba dan debu dimana-mana. Jadi nantikan terus post terbaru saya ya :)
Selamat bertemu di post selanjutnya. Saya sangat berterima kasih atas kunjunganmu, tapi akan jauh lebih berharga jika kamu tinggalkan jejak di sini :)

This is Me

Saya selalu tertawa gila setiap membaca ulang goresan maya masa lampau di blog ini. Utamanya  masalah cinta monyet. Bukan apa-apa, hanya, rasanya segala yang berkaitan dengannya saya ekspresikan dengan begitu alay-nya. Kalau mau jujur, sebenarnya kata alay tepat disematkan untuk hampir SELURUH post di sini, lebih-lebih yang ditulis sebelum tahun 2011. Masa-masa awal lahirnya blog ini. Masa-masa saya masih menelan pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, juga muatan lokal Bahasa Jawa dan pramuka. Masa-masa terpukau dengan taglineThe Research School of Jogja” yang terpampang di pintu utama sekolah kami –sekarang masih sih, tapi dari kejauhan-.
Sebelumnya, mungkin terasa wagu saya yang sebelumnya lancar menggunakan “aku” dan “kamu” tiba-tiba menjadi “saya” dan “kamu”, pun dari kata-kata slang bertebaran dimana-mana menjadi minim kata slang. Sederhana saja, saya ingin pengunjung lebih nyaman dengan transformasi ini, selain karena ingin menunjukkan bahwa saya masih berusaha memperbaiki diri dalam segala aspek. Tapi tenang saja, saya tetap tipe the girl next door –a la Indonesia tentunya- yang di saat tak terduga penuh kegilaan. Saya tidak akan heran jikalau kamu pernah mendapati saya sedang menirukan suara kucing, mobil balap bahkan babi. Plus ekspresinya, untuk yang terakhir disebut. Saya juga masih Dina Ardihani yang berperilaku memalukan dan terkadang membuat saudara-saudari saya mengaku tidak kenal dengan saya. Heheh.
Kembali ke topik, saya melabeli kisah cinta monyet saya dengan kata “alay” tak kurang karena apa yang saya tulis tidak terlewat dari melebih-lebihkan baik kejadian faktualnya maupun mimpinya. Iya, mimpi. Karena salah satu post tentang cinta monyet di sini merupakan hasil kembang tidur saya. Selain itu, semua yang saya tulis toh hanya dari sudut pandang saya. Memang benar, saya sempat menunjukkan rasa suka saya pada seorang teman sekolah –yang mana terjadi sekali di SMP dan sekali di SMA- namun yang terjadi sebenarnya adalah, saya berusaha sebisanya bersikap biasa-biasa saja pada orang itu tapi ternyata dia tetap sadar bahwa saya memperlakukannya berbeda dari teman lelaki lain. Tidak penting? Iya, memang tidak penting. Lucu? Silakan tersenyum. Ironis? Silakan tertawa miring. Saat SMP, saya bahkan sempat napak tilas tempat dia, sebut saja R, bermain dengan teman-temannya menggunakan sepeda. Bukan stalking, karena saya tiba saat mereka sudah jauh pergi entah kemana. Namun tetap memalukan karena saya melakukannya setelah tidak sengaja mendengar rencana mereka menyambangi tempat tersebut. Dan hanya karena ingin tahu bagaimana dia jika di luar sekolah. Lebih freak lagi, saya sempat beberapa kali sengaja pulang lewat area yang saya duga –dari hasil cerita teman SDnya yang kebetulan sekelas dengan saya- adalah wilayah tempat dia tinggal hanya agar tahu dimana persisnya rumahnya –yang di kemudian hari saya beralasan padanya, walau memang benar, adik saya sekolah di sekitar situ-. Puncaknya, saya tahu kalau dia sadar saya menyukainya ketika suatu saat saya berangkat mruput sementara dia sudah di sekolah sedang bercengkerama dengan teman-teman dekatnya di bawah ring basket, langkah saya mendadak terhenti sendiri dan ragu bercampur malas untuk menapak lebih dalam. Bukan untuk mengamati dia, justru ingin menghindar. Rupanya meski tubuh bagian atas saya terhalang mading dia sadar itu saya dan tiba-tiba dia berlagak dengan dribbling bola basket dilanjutkan shooting. Kalau saja teman dekat saya tidak bertanya alasan saya belum masuk kelas, saat itu saya akan lebih memilih tetap sembunyi di balik mading, membaca koran dan pura-pura tidak melihat apa yang dia lakukan. Setelah saya masuk kelas –yang berarti harus melewati dia dan teman-temannya dulu- dia menghentikan permainan basketnya dan kembali berbincang dengan kawan-kawannya. Yang mengejutkan, beberapa saat yang lalu ketika saya melihatnya lagi untuk pertama kali setelah delapan tahun dalam suatu reuni, i just felt nothing. Literaly not-even-a-single-thing. Hanya tersentak dengan perubahan drastis pada fisik maupun perilakunya. Berarti, dua tahun perasaan itu tidaklah cukup bermakna bagi saya. Sungguh melegakan, karena seharusnya saya tidak melanggar prinsip saya, hanya menaruh perasaan pada teman sepengajian. Bagaimanapun, ketika SMA saya kembali memandang beda terhadap seorang teman sekelas saya. Satu peristiwa paling nekat yang masih saya ingat –dan saya sesali kini-, saya sempat mengirim pesan via FB padanya, sebut saja si E. Isinya biasa saja: menanyakan kabar, minta maaf akan hal yang sebenarnya tak perlu, tapi untuk ukuran saya saat itu yang dikenal dengan perangai pendiam, tidak banyak polah, tertutup –apa bedanya dengan sekarang ya? Haha- isi pesan tersebut sudah tergolong alay/memalukan atau apalah itu istilahnya. Alhamdulillah, tidak pernah ada balasan dari E. Namun sejak itu, beberapa kali terjadi sesuatu yang saya ragu apakah berhubungan dengan pesan tersebut atau saya saja yang gegedhen rumongso: ketika saya online di FB dan dia sudah online lebih dulu, tiba-tiba dia offline tak sampai 10 menit kemudian. Alhamdulillah, lambat laun menjadi biasa saja bahkan saya menjadikannya guyonan pada diri sendiri; saya mencoba menghitung rekor berapa lama si E tetap online sementara saya juga online. Pada akhirnya, sejak wisuda kelulusan saya tidak pernah bertemu lagi dengannya dan, Alhamdulilah, bisa dibilang hampir tidak pernah dia terlintas di pikiran saya. Kalaupun pernah, itu kebetulan karena saya bertemu dan bernostalgia dengan tetangga sekaligus teman sekelas saya dan si E. Tetap saja kini saya menyesal telah dua kali melanggar prinsip saya sendiri.
Ketika saya telah menjadi mahasiswa, beberapa kali saya “melihat” teman sepengajian dengan cara berbeda. Tapi rerata hanya melibatkan kekaguman dan tidak sampai suka. Indikator saya mengatakan saya hanya kagum atau suka, bila saya sampai menyukai seorang lawan jenis biasanya orang itu muncul dalam mimpi meski cerita dan peran orang tersebut dalam mimpi saya tidak istimewa –mungkin bisa dibilang semacam cameo-. Hanya satu yang berdampak cukup serius dalam hati, dan tak sampai setahun kemudian dia menikah dengan teman sepengajian lain yang juga seangkatan saya. Hahaha.
Waktu terus bergulir maju, tapi saya masih “trauma” dengan patah hati tersebut. Semakin hari justru saya makin menutup diri dari “cinta pada lawan jenis”. Kalau sekadar kagum tetap ada, entah itu pada yang lebih tua, sepantaran bahkan lebih muda. Pada dasarnya, saya lemah terhadap orang-orang (lebih tepatnya laki-laki) yang kefahaman agamanya kuat. Tentu, tidak bermaksud munafik, saya juga senang menilai fisik seperti rupa dan harta, tapi yang membuat hati saya menjadi rentan dan kemudian membiarkan seorang laki-laki muncul dalam mimpi –engkau salah kalau membayangkan mimpi yang liar- justru ketakwaannya pada Ilahi, menjaganya pada tuturnya, ilmu agama yang dimilikinya, kepeduliannya pada orang lain –dengan tidak membiarkan orang di sekitarnya terjerumus dalam kesalahan- dan semua aspek umum dari seorang hamba yang solih. Namun tetap saja, semenjak trauma tersebut sikap skeptis saya menguat. Saya merasa belum siap untuk patah lagi. Efeknya, terhadap lawan jenis nonmahrom siapapun itu saya cenderung apatis, walau sebenarnya sejak dulu juga apatis terhadap laki-laki, apalagi terhadap orang yang padanya saya menyimpan rasa. Saya batasi setiap rasa kagum agar tidak berkembang menjadi suka dan berkilah pada diri sendiri bahwa dengan bersikap seperti itu apa yang tersimpan dalam sanubari saya akan pudar juga, sehingga tidak perlu ada benak yang mencelos jika suatu saat terdengar kabar bahagia dari orang itu. Ibaratnya, laiknya seorang pecundang, saya sudah menyerah sebelum perang. Lagi pula, saya selalu merasa belum cukup baik untuk membersamai orang yang saya sukai. Ia pantas bersama perempuan yang lebih baik akhlaknya, peduli pada orang lain dan faham agama. Masih jauh diri ini dari status solihah. Hingga di suatu titik, saya merenung: jangan-jangan selama ini gayung tidak bersambut karena saya tidak cukup serius menyukai seseorang: menyimpan semua di hati, berharap dalam diam namun tidak menyerahkan perkara pada Yang punya semua perkara dan Maha Mengubah hati. Maka saya meyakinkan diri sendiri: Jika kamu benar menyukainya, segera sebutkan namanya dalam mohonmu padaNya, baru setelah itu berharaplah dia menyebut namamu juga. Alhamdulillah, praktik sudah terlaksana. Kali ini, saya menjaga perasaan tersebut. Meski tetap ada gundah apalah diri ini dibanding orang mulia lagi terjaga seperti dia, di sisi lain berkat Alloh saya merasa sanggup lebih legowo seburuk apapun perasaan tersebut berakhir nanti. Saya tidak bisa menceritakan apapun tentang yang satu ini karena semua telah saya serahkan padaNya. Yang jelas, lagi-lagi saya jatuh hati karena kefahamannya. Jika memang sudah jodoh pasti akan datang.

Mencintai itu indah
Berharap memang membuat rindu
[Tapi] relanya hati hanya ada karena manisnya iman
Baiklah, saya rasa cukup demikian bab urusan hati. Ini saja sudah luar biasa mengingat saya introvert parah terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hati/perasaan. Benar, di kehidupan nyata maupun maya (re: medsos) saya memang hampir tidak pernah menunjukkan hal-hal pribadi yang mengarah pada perasaan. Hei kau, siapapun kau yang membaca tulisan ini, saya sungguh berharap kamu bisa memetik hikmah dari pengalaman saya. Bahwa jangan sampai kamu terjerembab dalam lubang keledai yang sama seperti saya. Bahwa Tuhan mengasihimu lebih dari cinta seseorang padamu, maka kembalikan semua padaNya dan persembahkan cinta terbaikmu padaNya sebelum serahkan hatimu pada makhlukNya.

Kamis, 19 Desember 2013

.:Just Few Thoughts:.

Saya selalu berpikir,
"Kerjakan saja, tak masalah orang lain tak tahu, yang penting kamu berkontribusi" 
 Banyak baiknya berkeyakinan seperti itu. Terutama jika dikaitkan dengan riya. Mudah sekali mengatakan 'saya tidak pamer' tapi kenyataannya sulit mencegah hati dan mulut. Mungkin kamu tidak berniat mengisahkan kebaikan dan pengorbanan yang telah lalu, tapi suatu kondisi menggelitikmu hingga tak kamu sadari cerita pun terluncur dari bibir.
"Aku pernah seharian bla bla bla demi bla bla bla, sudah begitu tidak ada yang membantu. Padahal waktu itu aku baru saja pulang dari bla bla bla dan bla bla bla"
Kesannya memang berbagi cerita saja, tapi kalau ternyata ketika itu niatmu sudah karena Alloh lalu sekarang kau ceritakan (tanpa diminta)... hanguslah sudah pahalanya. Tak bersisa setetespun. Kejam? Memang.
Tentu saja ada pengecualian. Misalnya, dalam CV, tentu kamu harus menyebutkan selengkap mungkin pengalaman berorganisasi dan prestasimu karena itu sangat berpengaruh terhadap diterima-tidaknya dirimu. Begitu pun untuk memotivasi orang lain supaya tergerak memperbaiki kualitas diri, ceritakan secukupnya.
Yang penting tidak dilebih-lebihkan :)

Selasa, 10 Desember 2013

Daftar Harapan


Tanpa diminta: "Buatlah wish listmu sendiri, satu lembar ini saja", sungguh telah banyak impian yang bermunculan silih-berganti sejak saya bisa mengingat. Nah, jadi inilah (sebagian) daftar harapan saya untuk 1 bulan hingga 1 tahun ini:

  1. Khatam makna Quran+keterangan selengkap-lengkapnya
  2. Khatam himpunan hadis (K. Sholah, K. Sholatinnawafil, K. Jihad, de el el)
  3. Khatam Sunan Ibnu Majah minimal jilid 2 dan 3
  4. Hafal juz'ama (memalukan, karena ini dasar sekali)
  5. Disiplin sholat (minimal) 1/3 malam akhir+qobla Subuh
  6. Merutinkan solat tobat
  7. Merutinkan solat tasbih, hajat dan istikharah
  8. Mewajibkan diri sendiri istigfar min 1000 x/hari
  9. Khatam bacaan Quran minimal 3 x/tahun (di luar Ramadan)
  10. Memperbaiki perangai: jadi kakak yang penyayang dan ramah, jadi adik yang menghormati dan penyayang
  11. Menaikkan level "anak yang sedikit berbakti" menjadi "anak yang berbakti"
  12. Manajemen ego
  13. Merintis Dusun Purwosari Mandiri
  14. Revitalisasi program TPA Purwosari (Ramadan dan rutin)
  15. Mengubah nilai C menjadi A (masih banyak, T-T)
  16. Skripsi proyek inovatif
  17. Riset moluska!
  18. Upgrade skill kepemimpinan dan organisasi
Oke, daftar di atas jelas tidak benar-benar urut, tapi saya sudah mengkategorikannya walau tidak terlihat.
Dan, sekali lagi, ini baru sebagian kecil.
Bagaimana dengan kamu? :)

Terlepas dari novelnya yang konon kontroversial, saya suka quote ini:
Bermimpilah setinggi-tingginya, yakinlah Tuhan akan menangkap mimpi-mimpi itu -by Andrea Hirata 

Senin, 04 Maret 2013

Only love the cuteness??

Yang coklat hitam lupa namanya (saking banyaknya kucing yang keluar masuk rumah), yang coklat koneng namanya Bona. Bona sering heboh sendiri, maka kami panggil pula "Bona Heri"


Korban kebiadaban majikan




Lagi-lagi jadi korban kebiadaban majikan, "digantung" di langit-langit

 Saking pasrahnya dengan nasib, dianiaya malah tidur







What do ya think, ha? XD

Metal cat


Rabu, 06 April 2011

Tiz' what i feel r8 now

Already Gone lyrics
Songwriters: Clarkson, Kelly Brianne; Tedder, Ryan;

Remember all the things we wanted
Now all our memories they're haunted
We were always meant to say goodbye

Even with our fists held high
It never would've worked out right
We were never meant for do or die

I didn't want us to burn out
I didn't come here to hold you, now I can't stop

I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone

Looking at you makes it harder
But I know that you'll find another
That doesn't always make you want to cry

Started with a perfect kiss then we could feel the poison set in
Perfect couldn't keep this love alive
You know that I love you so, I love you enough to let you go

I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
( From: http://www.elyrics.net/read/k/kelly-clarkson-lyrics/already-gone-lyrics.html )
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone

I'm already gone, already gone
You can't make it feel right when you know that it's wrong
I'm already gone, already gone
There's no moving on so I'm already gone

Already gone, already gone, already gone
Already gone, already gone, already gone, yeah

Remember all the things we wanted
Now all our memories they're haunted
We were always meant to say goodbye

I want you to know that it doesn't matter
Where we take this road someone's gotta go
And I want you to know you couldn't have loved me better
But I want you to move on so I'm already gone

I'm already gone, already gone
You can't make it feel right when you know that it's wrong
I'm already gone, already gone
There's no moving on so I'm already gone

................................................................
Boy, maybe you want to say those to me years ago.
That's OK,
cause I'm already gone now.
Sorry for bothering you all that time

Kamis, 19 Agustus 2010

Intermeso...

   Wah wah wah... aku tidak pernah mengira jumlah visitornya 164... 164! 164! 164! (berubah jadi tante girang) heran, benar-benar heran... ada ya orang yang menengok blog ini selain aku sendiri? (tertawa miring) Memang, belum lama ini ada seorang teman dekatku sejak SMP yang mengaku membaca blogku... tapi tetap saja merasa keki: apakah berarti aku begitu memprihatinkannya? hingga blog selalu kubuka hampir setiap kali aku berselancar... lol. Padahal sudah lumayan lama aku tidak mengunjungi tempat ini, (sok) sibuk sih... ahaha, bercanda. yang benar adalah:
1. Koneksi (Wahai Bapak Alwi Shahab, ampuni saya kalau pemakaian kata 'koneksi' dan bukan 'hubungan' ini merupakan pelanggaran kaidah KBBI) Speedy di rumahku beberapa minggu akhir ini memang sering mengalami masalah... hffftttt... (mendengus dengan bibir mencucu)
2. Aku sedang mempersiapkan sebuah --atau beberapa-- postingan yang agak spesial dilihat dari isinya -setidaknya menurutku sendiri, hahaha-. Tambahan, aku ingin memenuhi janjiku.
   Baik, sepertinya itu dulu yang aku tulis kali ini. Aku sangat sangat berharap impianku menciptakan dua blog baru nyata terwujud. Satu blog khusus perihal yang menyangkut Biologi --yang kuharap akan membantu anak-anak di jenjang SMP-- dan lainnya blog yang rencananya akan murni berisi karya-karya kesusastraanku, entah cerita pendek, novel, puisi, pantun, dan lain-lain yang tentu masih berkaitan dengan bahasa dan sastra.
   Siapapun kalian yang membaca blogku, sampai jumpa lagi! Terima kasih atas kunjungan kalian!

Jumat, 09 Juli 2010

ahah ahah (a la Jay Z di Umbrella)

   Mungkin ini postingan paling kacau yang pernah kubuat... karena semua yang muncul di kepalaku langsung kutulis... pukul enam petang kemarin, ayah-ibu dan adikku yang paling kecil, Alicia (nama sebenarnya Alisya, tapi aku tak sudi memanggilnya dengan namanya sendiri kecuali bila ayah-ibuku menggantinya menjadi Alicia. Selama ini kupanggil 'dek bayee...' padahal sudah satu tahun lebih umurnya. *lol) resmi memulai perjalanan ke Jakarta via travel. Dan... mau tak mau, lagi-lagi aku jadi yang paling diharapkan ibuku mengurus rumah dan adik-adikku selama kurang lebih 6 hari 5 malam ini, karena kak Anisa sebagai anak tertua sedang KKN sementara kembarannya juga sedang mengikuti PIMR, semacam kemah racana pramuka. Kuharap memang karena itu, dan bukan karena aku yang dianggap paling bisa ngemong. Berat, amanah seperti ini. Tak masalah kalau saudaraku cuma satu atau dua gelintir orang, tapi ini... banyak.
   Ketika sedang mencuci, aku teringat saat-saat kami masih menggunakan jasa tangan untuk membersihkan pakaian-pakaian kotor keluarga kami. Yang membuatku sedikit sentimentil (ceritanya meniru Dumbledore), aku senang jadi bagian dalam 'sejarah cuci baju keluarga Hendi' (judul yang sangat norak, lol) dengan menjadi orang terakhir yang ditugaskan ibu mencuci baju sekeluarga dengan tangan. Ga penting banget ya?? hahahahahah,biar deh...
   Oh ya, bicara tentang FB, aku sekarang jarang nangkring berlama-lama di sana karena ibu telah melarangku main Pet Wars... hiks, padahal sebenarnya hanya itu yang membuatku tidak bosan membuka FB berlama-lama... aku sadar alasanku dulu bahwa aku membuat akun sosialita ini untuk studi karakter terbukti non sense, karena aku lebih banyak bermain game daripada melihat wall (modus banget *lol). Lagi pula, aku tidak tahan bila ada dia dalam daftar orang yang online. Mulanya aku berpikir, "Hm, mari kita lihat, seberapa lama dia bisa bertahan apabila ada aku?'" akibat dulu (mudah-mudahan bukan karena aku terlalu berlebihan) beberapa kali dia langsung pergi begitu "tahu" aku hadir. Jika dulu aku tersinggung karena dia langsung 'minggat' begitu, kini aku malah merasa tertarik untuk menghitung rekor seberapa singkat dia bisa bertahan bila ada aku juga di situ. Hahahaha, konyol memang, tapi menggelikan sekali, jadi kulakukan. Toh tidak ada yang tahu, kan? Sayang, lama kelamaan malah aku yang tidak tahan sendiri. Aku justru mengeluh dalam hati, "kenapa sih dia masih juga bertahan? Padahal jelas-jelas ada aku...". Simpel saja, aku mengeluh begitu karena khawatir akan menderita sakit jantung akibat jantungku selalu mencelos tiap kali namanya muncul di daftar online. Payah.
   Wah, akhirnya jadi bicara tentang itu lagi ya? Ahaha (tertawa). Bukan mauku sih, tapi yang penting kan tidak terasa murahan seperti posting sebelumnya... OK, pengakuan. Di posting kali ini tujuan utamaku adalah beropini tentang betapa beratnya jadi ibu. Jangankan jadi ibu, mengantikan tugas seorang ibu seharian mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi saja sudah berat, apalagi bila sudah benar-benar menjadi seorang ibu. Tololnya kalimat-kalimat yang sudah mucul di kepalaku mengenai ini malah lenyap. Jadi terpaksa kutunda hingga nanti lampu-lampu dalam otakku menyala lagi. Aih, jangan beranggapan aku membahas ini karena aku ingin segera menjadi ibu (tertawa), tapi semata akibat aku dilimpahi kewajiban ini oleh ibu selama beliau sedang di Jakarta, seperti yang sudah kukatakan di awal.

Selasa, 06 Juli 2010

Chicken Soup 2

         Kalau dipikir-pikir, aku ini norak. Pake banget malah. Terutama, dalam hal, hm, menyukai cowok. Hahaha, walaupun aku nggak akan melupakan kekonyolanku itu, aku tidak akan mau menuliskannya di sini. Tapi sebenarnya sudah ada contoh kenorakanku. Dalam postingan berjudul Corezon Secreto, yang akhirnya kuhapus setelah sempat nangkring di blog ini selama beberapa hari. Memalukan sekali, melihat diriku yang terkesan “murahan” seperti itu. Seharusnya aku bisa mengerem dan menahan diriku sendiri sampai taraf menyimpan segalanya hanya dalam hati. Biarlah hati, pikiran dan diriku sendiri saja,beserta Allah, tentu, yang tahu dan melihat rasa suka itu. Pun, sebenarnya yang norak bukan hanya si-postingan-malang-yang-telah-kuhapus-itu, tapi juga satu postingan lagi yang muncul karena keedananku waktu itu, postingan yang berjudul Caldo de Gallina; Pero pequino Grando. Hanya saja, motif penulisan postingan itu semata karena menurutku isinya cukup bagus untuk digubah jadi cerita. Aku ingin tahu komentar orang-orang yang membacanya. (Kalau memang benar ada orang selain aku sendiri yang mengunjungi blog ini, hahaha). Aku ingin dia tahu, aku menyesal telah menunjukkan rasa sukaku padanya, meski perasaan itu sendiri tak akan pernah kusesali. Tak masalah dia tak ingat aku, karena yang kuambil dari semua itu cukup pengalaman berharga tentang bagaimana rasanya menyukai seseorang. OK, itu hanya sekadar intermezzo. Yang sesungguhnya ingin kuutarakan dalam postingan kali ini bukan tulisan di atas, meski masih ada kaitannya dengan kalimat-kalimat setelah ini.
    Ada begitu banyak aspek kehidupan yang bisa ditulis, dan aku heran mendapati diriku, beberapa minggu terakhir ini, dengan latahnya terjebak dalam satu tema yang klise lagi monoton: cinta terhadap lawan jenis. A ha ha ha ha, betapa menyebalkannya, menyinyir tajam kepada biduan-biduanita zaman sekarang yang hampir kesemuanya bersesakan di jalur pop –dengan embel-embel warna yang berbeda—dan mengangkat tema ini, tapi sendirinya ternyata juga tak habis-habisnya berkoar tentang tema itu, eh? Humm, barang kali waktu itu aku sedang didominasi sifat melankolisku, seperti kata Florence Littauer. Dan aku gembira menyadari aku kini akan segera kembali menuliskan hal-hal yang lebih menarik dibahas daripada postinganku mengenai tema tersebut di atas.
    Keluarga? Ahai, topik ini memang sudah biasa, namun seperti lagu tema Keluarga Cemara, keluarga adalah segalanya. Aku tak pernah bosan dan merasa kehabisan bahan perbincangan akan yang satu ini. Benar sekali isi lagu itu:
Harta yang paling berharga adaah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Tempat yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
    Setiap keluarga mempunyai sisi gelap dan terangnya masing-masing. Namun aku lebih senang menuliskan ingatanku akan kebaikan keluargaku, seperti juga aku lebih suka mengingat-ingat kebaikan teman-temanku daripada kesalahan dan keburukannya. Ah, tentu saja tanpa melewatkan sikap waspada. Bukankah lebih membahagiakan seperti itu? Ayahku adalah orang yang paling sering memberiku petuah berharga mengenai bagaimana menghadapi hidup yang jelas tak semudah mengedipkan mata. Memang, di pengajian kami secara tak sadar juga diajari bagaimana tetap menjadi hambaNya yang takwa di dunia yang makin sekarat ini. Tapi ayah membeberkan hal yang lebih universal. Bagaimana caranya agar kepala tetap tegak sementara ombak dahsyat menggempur dari segala arah; bagaimana caranya agar tidak terseret bahkan terbunuh oleh keadaan itu; bagaimana  caranya menyemangati diri sendiri ketika jurang terjal tampak di depan mata; bagaimana caranya mengukuhkan hati agar tetap dalam jalan yang benar; dan masih banyak nasihat berharga lainnya. Ibuku sendiri, lebih sering menasihati anak-anaknya mengenai harapan-harapan beliau akan anak-anak yang bisa diandalkan dengan segala amalan baik kami.
    Hm, kukira, cukup sampai di sini aku berkisah. Ternyata menulis tentang keluarga bukan hal yang mudah. Aku tidak ingin menulis sembarangan. Mudah-mudahan aku bisa segera menceritakan keluargaku lagi.
    Eh, omong-omong, aku senang kini bisa melaksanakan janjiku dulu untuk tetap berolahraga meski tidak ada pelajaran olahraga lagi. Yeah! ;d